Minggu, 28 Juli 2013

Program Pendampingan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran Bermasalah

Departemen Sosial yang merupakan salah satu unsur pelaksana Pemerintah mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang sosial. Salah satu program Departemen Sosial dalam rangka mengemban tugas pemerintahan di bidang sosialn tersebut adalah program bantuan sosial korban tindak kekerasan yang dilaksanakan oleh Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran pada lingkup Direktoraqt Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial.

Kegiatan pokok bantuan sosial korban tindak kekerasan adalah :
Pengembangan sistem informasi dan advokasi sosial yang meliputi : 

  1. Pengembangan informasi berkaitan dengan upaya preventif, kuratif dan rehabilitatif.
  2. Advokasi sosial merupakan upaya pembelaan dan perlindungan sosial terhadap korban tindak kekerasan, keluarga dan lingkungan sekitar
  3. Pemantauan atau pengendalian merupakan upaya untuk melihat sejauhmana pelaksanaan kegiatan sedang dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang merupakan penguatan dan pengembangan kapasitas, baik korban maupun pengelola atau petugas pelaksana
  4. Pengembangan jaringan kerja sehingga sehingga tersedia sistem rujukan yang terpolakan sebagai sumber utama penyelesaian masalah korban tindak kekerasan
  5. Peningkatan partisipasi masyarakat yang merupakan perwujudan tanggungjawab masyarakat dalam bentuk memberikan perlindungan yang berbasis komunitas kepada korban tindak kekerasan
Menurut Kasi BS.KTK-PM Dinsos Provinsi Sumatera Selatan Dra.Merry Eliza,MM Korban tindak kekerasan pada umumnya mengalami permasalahan yang sangat serius baik secara fisik, mental maupun sosial sebagai dampak pengalaman traumatis yang mungkin akan melekat seumur hidup apabila tidak ditangani secara profesional. Dalam berbagai kasus korban tindak kekerasan cenderung memperlihatkan rasa ketakutan yang berlebihan, kehilangan harga diri, kehilangan harapan hidup, kegelisahan, rasa penyesalan, rasa kehilangan anggota keluarga, curiga karena adanya penghianatan orang yang terpercaya, kebencian yang mendalam atau perasaan dendam dan kemarahan yang terpendam, ketidakberdayaan, kecacatan dan sebaginya sehingga pada gilirannya korban tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik.,' jadi kita bersama para pendamping KTK-PM yang sudah lulus seleksi dari Kementrian Sosial RI melakukan pendataan dan pendampingan Klien yang bermasalah dalam hal Kekerasan' unkap Nya

penanganan korban tindak kekerasan diperlukan Community Development yang diantaranya dapat dilakukan oleh pekerja sosial untuk memberikan aksi dan dukungan melakukan kegiatan emergensi terhadap masalah kekerasan. Kegiatan tersebut diantaranya adalah memberikan penampungan sementara bagi korban agar merasa aman, terutama ketika baru mengalami tindak kekerasan dan membantu menegakkan hak-hak korban melalui proses pendampingan hukum. Selain itu perlu adanya peraturan dan kebijakan yang melindungi jasa layanan dalam mendampingi korban. Bantuan sosial korban tindak kekerasan tidak saja diberikan ketika tindak kekerasan baru terjadi, akan tetapi juga setelah itu sampai korban benar-benar sudah pulih
sesuai dengan surat yang dilayangkan oleh Kementrian Sosial RI baru baru ini telah kembali di laksanakan 

Pemantapan Pendamping Usaha Ekonomi Produktif (UEP) Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran Bermasalah

Tujuan : Meningkatkan kemampuan teknis sebagai tenaga pendamping Usaha Ekonomi Produktif bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran. Mengembangkan infomasi dan kerjasama dalam rangka pemberian bantuan UEP kepada mantan KTK dan PM. Terinformasikannya manajemen usaha ekonomi produktif kepada para pendamping UEP KTK dan PM secara benar. Terlaksananya kegiatan pengelolaan usaha pendampingan UEP didaerah secara sistimatis, terencana dan efektif dan efisien. Meningkatnya kualitas pelayanan pendampingan UEP kepada eks KTK dan PMB penerima bantuan UEP. Memotivasi para pendamping agar dapat mengoptimalkan eks KTK dan PM Penerima bantuan UEP dalam memenuhi kesejahteraan sosial mereka, sehingga dapat memulihkan trauma psikis dan tidak kembali bekerja di Luar Negeri Berkembangannya hasil usaha para eks KTK dan PM penerima bantuan UEP.


Tahukah Anda
  • Perempuan korban kekerasan memerlukan tidak hanya layanan medis dan bantuan hukum untuk memulihkan diri, namun juga sangat membutuhkan layanan psikologis serta dukungan sosial dan sikap empati dan masyarakat untuk benar-benar mampu kembali berdaya.
  • Di 15 wilayah di Indonesia (dikota-kota seperti Yogyakarta, Surabaya, Bengkulu, Palembang, Medan, Kupang, Jayapura, dan beberapa di daerah tingkat kabupaten), berdasarkan data akhir tahun 2002, telah tersedia layanan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan, yang umumnya dikelola oleh organisasi perempuan.
  • Selain itu, sejumlah rumah sakit, seperti RS rujukan RS Cipto Mangunkusumo, RSAL Mintohardjo, RS Poiri, ketiganya di Jakarta, dan rumah sakit swasta seperti RS Panti Rapih di Yogyakarta, juga telah mengembangkan layanan khusus di rumah sakit bagi korban kekerasan.
  • Adapun sektor kepolisian, sampai akhir 2002 telah membentuk 163 unit RPK (Ruang Pelayanan Khusus) di 19 propinsi di Indonesia, RPK adalah ruang khusus di kantor Polres yang diawaki oleh polisi wanita (polwan) untuk melayani perempuan korban kekerasan.
Semua upaya mengadakan layanan bagi perempuan korban tindak kekerasan, telah serentak dicoba-kembangkan oleh berbagai pihak. Berbagai kaiangan masyarakat tersebut, sesuai dengan bidang keahlian dan disiplin masing-masing (hukum, medik, psikologi) telah mengembangkan fasilitas dan mekanisme untuk menjawab kebutuhan perempuan korban kekerasan. Hanya, dalam kenyataan, pengadaan layanan cenderung terbatas pada satu bidang keahlian tertentu saja. Praktek seperti ini berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia dan dana, serta kecenderungan menyikapi layanan secara parsial/sebagian-sebagian.Peran utama pemerintah dalam merespon penanganan kekerasan, adalah di dalam kebijakan maupun legislasi yang diperlukan untuk mendukung upaya-upaya seperti pengembangan layanan bagi korban tindak kekerasan. Yang agaknya masih harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah adalah kebijakannya untuk mengalokasikan pendanaan yang memadai. Layanan kepada perempuan korban kekerasan dalam bentuk shelter, crisis center dan bantuan hukum telah banyak diupayakan dan berangkat dari inisiatif masyarakat sipil, maka tanggung jawab pemerintah dalam hal ini adalah mengalokasikan dana publik untuk mendukung dan menghasilkan efektifitas kelangsungan penyediaan layanan tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu apabila kualitas pengendalian diri orang-orang yang ada dalam lingkup rumah tangga tidak dapat dikontrol yang pada akhirnya dapat terjadi tindak kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran. Kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran dapat terjadi dalam lingkup rumah tangga yang pelakunya bisa suami/isteri, orang tua atau orang terdekat dalam lingkup rumah tangga yang dianggap sebagai tempat aman untuk mendapatkan perlindungan dari marabahaya. Untuk mencegah, melindungi korban serta menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga maka negara dan masyarakat berkewajiban memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagaimana kemudian diatur di dalam UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dengan menggunakan metode penelitian hukum yang normatif analistis yang bersifat eksplaratoris, penulis berusaha mengungkap sejauhmana perlindungan hukum diberikan kepada korban-korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) dalam proses penyidikan dalam praktik peradilan sebagaimana diatur di dalam UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dari hasil penelitian diperoleh simpulan, sebagai berikut : 1. Perlindungan hukum yang diberikan kepada korban KDRT, antara lain: a. pencantuman hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, pelayanan, dan lain-lain. b.Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan upaya penyediaan sarana dan prasarana khusus, pihak-pihak yang mendampingi korban, dan lain-lain. c. pencantuman sanksi pidana serta kewajiban setiap orang, dan lain-lain. d. korban dapat diberikan penetapan perintah perlindungan, dan lain sebagainya. 2.Kendala-kendala yang dihadapi oleh Penyidik dalam proses penyidikan perkara- perkara KDRT, antara lain: a. kelemahan perumusan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga. b. belum tersedianya sarana dan prasarana serta pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian pelayanan kepada korban. c. masyarakat dan budaya masyarakat yang belum mendukung, dan lain sebagainya. 3.Usaha-usaha yang dapat/telah dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, antara lain: a. mengikutsertakan aparat dalam pelatihan-pelatihan, dan lain-lain. b. memberikan masukan-masukan kepada “stake holder”, dan lain sebagainya

Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran
Kegiatan bantuan dan jaminan sosial yang dilaksanakan oleh Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran difokuskan pada upaya perlindungan sosial bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran bermasalah agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya di masyarakat. Upaya tersebut dilaksanakan melalui:


  1. Pemulangan ke daerah asal dan pemberian makanan selama di penampungan bagi pekerja migran bermasalah;
  2. Rehabilitasi psikososial melalui RPTC;
  3. Bantuan Usaha Ekonomis Produktif sebagai bantuan stimulan bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran bermasalah

"Pekerja migran dilatarbelakangi dengan berbagai permasalahan terutama ekonomi, tapi masalah mereka sudah dimulai sejak saat pra-penempatan,"
Permasalahan tersebut seperti rendahnya kualitas sistem pelatihan, sehingga menghasilkan pekerja migran yang rendah dalam penguasaan bahasa negara tujuan dan penguasaan teknologi.

Masalah lain yang kerap ditemui yaitu pemalsuan dokumen mulai dari KTP dan paspor, memalsukan usia dan kemudahan dalam mendapatkan paspor walau telah dideportasi berulang kali.

Akibatnya, timbul permasalahan di negara penempatan seperti tidak punya dokumen, masa berlakunya sudah habis, palsu maupun peruntukannya berbeda. Hal ini selanjutnya menimbulkan tindak kekerasan berupa penganiayaan, penyiksaan fisik, eksploitasi, penelantaran dan akhirnya mengalami pengusiran atau dideportasi.

Dalam hal penanganan pekerja migran bermasalah, Kementerian Sosial berperan saat mereka dideportasi dengan menyediakan penampungan atau transito, penyediaan makanan, sandang, kebutuhan perempuan dan anak hingga transportasi sampai ke provinsi asal.

untuk buku panduan dan informasi  coba di : 









Kiprah Para Pendamping Penyandang Disabilitas Berat di Kota Palembang Sumatera Selatan

Diketahui oleh semua bahwa Pemberian Bantuan Dana Jaminan Sosial Bagi penyandang Cacat Berat telah dimulai sejak tahun 2006 yang pelaksanaan bantuannya tersebar di 32 Propinsi yang mencakup 184 Kabupaten/Kota dengan jumlah penerima sebanyak 17.000 orang penyandang cacat berat. Sejalan dengan Hal ini dalam menghadapi situasi dan permasalahan sosial yang semakin kompleks, Pemerintah tertantang untuk dapat menciptakan kerangka kerja pembangunan sosial yang terpusat pada rakyat (People Centered Development), sebagai pelaksana pembangunan Bidang kesejahteraan Sosial, untuk itu Kementerian Sosial memberikan kontribusinya dalam meningkatkan kesejahteraan para penyandang cacat berat demi mewujudkan perlindungan, kesejahteraan dan persamaan hak dalam mencapai keselarasan, kesinambungan, koordinasi, serta konsultasi dari masing-masing pihak pemerintah dan masyarakat ( pendamping JSPACA).


Saat ini, terdapat 146 negara penandatangan Konvensi Hak Orang dengan Disabilitas (CRPD), 89 penandatangan Optional Protocol, 90 ratifikasi terhadap Konvensi dan 57 ratifikasi Protokol.[1] Namun, sangat disayangkan bahwa Indonesia termasuk negara yang hanya dapat menandatangani dan belum meratifikasi...
Namun apa yang telah dilakukan oleh para Pendamping disabilitas bukan lagi isapan jempol, dengan segala bentuk pendampingan dari mulai motifasi dan rujukan sampai dengan advokasi.terutama apa yang dilakukan oleh Para Pendamping Penyandang disabilitas di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan beberapa saat lalu dan sudah menjadi rutinitas untuk selalu memberikan pantauwan dan usaha penyejahteraan para sodara dan sodari kita penyandang.


Dan Beberapa Pendamping Turut juga memperjuangkan hak-hak akan adanya perubahan paradigma terkait orang dengan disabilitas. Konsep bahwa orang dengan disabilitas adalah “obyek amal, pengobatan dan perlindungan sosial” menjadi pandangan bahwa orang dengan disabilitas sebagai subyek penyandang hak yang mampu memperjuangkan hak-haknya dan mampu membuat keputusan atas hidupnya berdasarkan kebebasannya sendiri sebagai anggota masyarakat aktif.


setiap orang dengan segala jenis disabilitas harus dapat menikmati seluruh hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Pertanyaan muncul pada tahap implementasi. Indonesia memiliki beberapa peraturan dan juga Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyangkut penyandang disabilitas dan hak asasi manusia. 
Di Indonesia, banyak Undang-undang yang membutuhkan perangkat hukum dibawahnya agar apa yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut dapat dilaksanakan. Undang-undang menjadi tidak dapat dilaksanakan ketika dibutuhkannya peraturan pelaksanaan dalam tingkatan kebijakan yang lebih rendah, namun aturan yang lebih rendah tersebut tidak pernah ada. Hal ini membuat Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, hingga Peraturan Daerah yang menurut urutan perundang-undangan lebih rendah dari Undang-undang menjadi penting. ketentuan-ketentuan dalam aturan inilah yang tolak ukur pelaksanaan di tataran local dan masyarakat. 

Hingga kini, paling tidak terdapat beberapa undang-undang dan peraturan sehubungan dengan komitmen terhadap isu penyandang disabilitas di Indonesia. Sebagian besar peraturan (di bawah undang-undang) mengatur mengenai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan orang usia lanjut yang diatur pula oleh Surat Edaran Menteri Sosial No. A/A-50/VI-04/MS, Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI No. SE/09/M.PAN/3/2004, Surat Edaran Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional RI No. 3064/M.PPN/05/2006 dalam hal perencaan yang memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat.


Baru baru ini kembali di adakan pertemuan Dalam bentuk rapat Koordinasi para pendamping Penyandang Disabilitas guna kembali bertukar pengalaman pemikiran dan ide ide baru dalam pendampingan.











Penyandang cacat & Wali Kota Palembang

Penyandang cacat & Wali Kota Palembang
Pemberian bantuan Oleh Pemerintah Kota Palembang kepada para penyandang cacat